Sejarah Kabupaten Subang Jawa Barat Indonesia
Wiki Article
Subang( Aksara Sunda Baku:ᮞᮥᮘᮀ) merupakan bunda kota Kabupaten Subang yang sekalian jadi pusat pemerintahan serta perekonomian dari Kabupaten Subang. Subang pula ialah suatu daerah kecamatan yang terletak di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Topografi Subang dataran bergelombang sampai 70%, bukit bergelombang sampai 20%, berbukit sampai bergunung 10% serta ketinggian 144 m di atas permukaan laut.
Letak Kabupaten Subang meliputi daerah seluas 205. 176, 95 ha ataupun 6, 34% dari luas Provinsi Jawa Barat. Daerah ini terletak di antara 107º 31′ hingga dengan 107º 54′ Bujur Timur serta 6º 11′ hingga dengan 6º 49′ Lintang Selatan.[1]
Secara administratif, Kabupaten Subang dibagi atas 253 desa serta kelurahan yang tergabung dalam 22 kecamatan. Bersumber pada Peraturan Wilayah Kabupaten Subang No 3 Tahun 2007 tentang Pembuatan Daerah Kerja Camat, jumlah kecamatan meningkat jadi 30 kecamatan.
Fakta terdapatnya kelompok warga pada masa prasejarah di daerah Kabupaten Subang merupakan ditemuinya kapak batu di wilayah Bojongkeding( Binong), Pagaden, Kalijati serta Dayeuhkolot( Sagalaherang). Penemuan benda- benda prasejarah bercorak neolitikum ini menunjukkan kalau dikala itu di daerah Kabupaten Subang telah ada kelompok warga yang hidup dari zona pertanian dengan pola sangat simpel. Tidak hanya itu, dalam periode prasejarah pula tumbuh pula pola kebudayaan perunggu yang diisyarati dengan temuan web di Kampung Engkel, Sagalaherang.
Hindu
Pada dikala berkembangnya corak kebudayaan Hindu, daerah Kabupaten Subang dipecah jadi 3 bagian kerajaan, ialah Tarumanagara, Galuh, serta Pajajaran. Sepanjang ketiga kerajaan berkuasa, daerah Kabupaten Subang diperkirakan telah terdapat kontak dengan sebagian kerajaan maritim sampai di luar kawasan Nusantara.
Aset berbentuk pecahan- pecahan keramik asal Tiongkok di Patenggeng( Kalijati) meyakinkan kalau sepanjang abad ke- 7 sampai abad ke- 15 telah terjalin kontak perdagangan dengan daerah yang jauh. Sumber lain mengatakan kalau pada masa tersebut, daerah Subang terletak di dasar kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seseorang Portugis yang mengadakan ekspedisi keliling Nusantara mengatakan kalau dikala menelusuri tepi laut utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk sampai Banten merupakan daerah kerajaan Sunda.
Islam
Masa datangnya pengaruh kebudayaan Islam di daerah Subang tidak terlepas dari kedudukan seseorang tokoh ulama, ialah Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Dekat tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang serta menyebarkan agama Islam ke bermacam pelosok Subang.
Kolonialisme
Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, daerah Subang semacam halnya daerah lain di Pulau Jawa, jadi rebutan bermacam kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, serta Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di wilayah yang sesuai buat dijadikan kawasan perkebunan dan strategis buat menjangkau Batavia. Pada dikala konflik Mataram- VOC, daerah Kabupaten Subang, paling utama di kawasan utara, dijadikan jalan logistik untuk pasukan Sultan Agung yang hendak melanda Batavia. Dikala seperti itu terjalin percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, sebab banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram serta menetap di daerah Subang.
Tahun 1771, dikala terletak di dasar kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, serta Ciasem tercatat seseorang bupati yang memerintah secara turun- temurun. Dikala pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles( 1811- 1816) konsesi kemampuan lahan daerah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat selaku dini kepemilikan lahan oleh tuan- tuan tanah yang berikutnya membentuk industri perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden( P& T Lands). Kemampuan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan telah bergeser ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dipahami penguasa perkebunan dikala itu menggapai 212. 900 ha. dengan hak eigendom. Buat melakukan pemerintahan di wilayah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik- distrik yang membawahi onderdistrik. Dikala itu, daerah Subang terletak di dasar pimpinan seseorang kontrilor BB( bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.
Nasionalisme
Tidak banyak catatan sejarah pergerakan pada dini abad ke- 20 di Kabupaten Subang. Tetapi demikian, sehabis Kongres Sarekat Islam di Bandung tahun 1916, di Subang berdiri cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap( Pabuaran) serta di Sukamandi( Ciasem). Berikutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo( karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra( karyawan P& T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra serta rekan- rekannya mengadakan mogok massal di percetakan P& T Lands yang menyebabkan kegiatan percetakan tersebut lumpuh buat sebagian dikala. Dampaknya Odeng Jayawisastra dipecat selaku karyawan P& T Lands. Berikutnya Odeng Jayawisastra serta Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sedangkan itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diiringi oleh cabang Parindra serta Partindo di Subang. Dikala Gabungan Politik Indonesia( GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi diselenggarakan rapat akbar GAPI Cabang Subang buat mengemukakan tuntutan seragam dengan GAPI Pusat.